Sabtu, 14 Desember 2019

Luka dan harapan dalam kata



Ulee lhee, 5 Desember 2019. Langitnya cerah, mentarinya hangat, dan ombak memadu padan dengan semilir angin.
Cukup indah, untuk berbagi cerita, tawa, dan perjuangan di batu- batu tepian pantai. 

Penjual, nelayan, anak-anak, pasangan muda, sahabat, semuanya bersatu padu dalam aura keceriaan untuk melepas penat. Ya, karena si ombak yang menerjang pantai menyisakan alunan kedamaian.
Tapi tidak untuk 15 tahun lalu, meskipun memandang langit yang sama, tapi tidak untuk hari itu. Minggu, 26 desember 2004 lalu.
Tempatnya memang sama, matahari, dan laut yang sama, tapi tidak dengan keadaan.
Hampa...

Kenapa tidak, sebagian keluargaku menghilang di hari itu.

Iya, hilang di laut ini, minggu pagi kan?
Mereka tertipu dengan keindahan dan hangatnya mentari pagi, hingga goncangan itu pun datang.


Ketika air laut surut, tak ada yang beranjak, malah hampir semua orang  berhamburan ke pantai, "ikan" katanya.
Hingga gelombang besar itu pun kembali, pekat, ganas dan entahlah, menyapu seluruh bagian dengan kekuatannya.

Dan hari ini, setelah 2004 itu berlalu banyak kejadian yang mengajariku, yang pertama tentang mitigasi religi, istilah itu ku dapat dalam sebuah acara sosialisasi aceh tangguh bencana dan literasi di revolusi industri 4.0.

Iya, kata itu sepertinya hal utama dalam penanggulangan bencana, karena dapat meminimalisir tekanan, trauma, dan kejadian-kejadian buruk lainnya bagi korban. Intinya karena kepercayaan dan keyakinan akan Allah, iman. 

Masyarakat Aceh memang dikenal masih kental akan agama, bisa dilihat dari banyaknya dayah-dayah dan balai pengajian yang masih berdiri di Aceh pada saat ini, bahkan dari dulu sudah di juluki seramoe mekah. Mereka percaya bahwa musibah yang Allah berikan ini merupakan teguran dari Nya, dan akan ada hikmah di balik kejadian luar biasa ini. 

Mungkin karena hal itulah rumah sakit jiwa di Aceh tidak penuh pasca tsunami. Dan mitigasi religi ini harus terus ditanamkan, mengingat kemajuan teknologi di industri 4.0 ini.

Media sosial dapat diakses secara bebas, hoax, bully, dan sebagainya, dalam hal ini perlu pertahanan diri yg kuat agar tak mudah merusak psikologi seseorang, apalagi remaja yg sangat rentan.

Kedua, mitigasi literasi, hal ini juga merupakan suatu hal yang urgent di kalangan masyarakat. Hal ini bisa dipadukan dengan kearifan lokal masyarakat Simeulu dalam menghadapi tsunami, yaitu Smong. Kearifan lokal ini sangat kental dalam jiwa masyarakat Simeulu, mereka menyampaikan ke generasi muda secara turun temurun, dan hasilnya ketika tsunami 2004 lalu, Simeulu yang merupakan daerah yang dikelilingi lautan, hanya 7 orang yang meninggal dunia, itu pun 6 diantaranya masyarakat luar, selebihnya mereka berhasil menyelamatkan diri.

Oke, apa itu smong?
Smong merupakan sebuah syair atau kearifan lokal yang diciptakan oleh leluhur mereka karena kejadian tsunami pada tahun 1907 silam, yaitu:


***
Enggel mon sao curito…(Dengarlah sebuah cerita)

Inang maso semonan…(Pada zaman dahulu)
Manoknop sao fano…(Tenggelam satu desa)
Uwi lah da sesewan…(Begitulah mereka ceritakan)
Unen ne alek linon…(Diawali oleh gempa)
Fesang bakat ne mali…(Disusul ombak yang besar sekali)
Manoknop sao hampong…(Tenggelam seluruh negeri)
 Tibo-tibo mawi…(Tiba-tiba saja) 
Anga linon ne mali…(Jika gempanya kuat)
Uwek suruik sahuli…(Disusul air yang surut)
 Maheya mihawali…(Segeralah cari)
Fano me singa tenggi…(Tempat kalian yang lebih tinggi)
Ede smong kahanne…(Itulah smong namanya)
Turiang da nenekta…(Sejarah nenek moyang kita)
Miredem teher ere…(Ingatlah ini betul-betul)
Pesan dan navi da…(Pesan dan nasihatnya.


Intinya mereka terselamatkan dengan syair lewat tutur kata, tapi itu hanya sebatas masyarakat simeulu, kenapa tidak di kembangkan melalui literasi digital pada saat itu?

Baiklah, ini belum sepenuhnya terlambat, banyak hal yang bisa kita pelajari dari masa lalu. Semoga dengan budayanya masyarakat simeulu, kita bisa memanfaatkan teknologi 4.0 untuk kemudahan dalam beliterasi. Karena cakupan dalam literasi itu bisa mencapai belahan bumi yang lain hingga akhir hayat, bahkan hingga penulishnya telah tiada. Dan semoga menjadi amal jariah bagi kita semua.

***Sapariah, Saturi. 2014. Kearifan Lokal Selamatkan Warga Simeulue dari Amukan Tsunami. https://www.google.com/amp/s/www.mongabay.co.id/2014/12/20/kearifan-lokal-selamatkan-warga-simeulue-dari-amukan-tsunami-bagian-1/amp/. Diakses pada 14 Desember 2019