Kamis, 22 Juni 2017

Harapan Pena Untuk Kampung Kelahiran


            Lamanya diperantauan membuat saya semakin rindu akan kampung halaman. Memang jarak Banda Aceh - Sigli bukanlah jarak yang begitu jauh, bisa ditempuh dalam waktu 2-3 jam tergantung kecepatan kendaraan yang kita tumpangi, hanya saja pendidikan menghalangi saya untuk pulang. Banyak tanggung jawab yang harus saya emban diperantauan sana, tak hanya menghabiskan kiriman dari orangtua. Pendidikan agama di sebuah pondok pesantren Darul Aman, Lubok Sukon, dan pendidikan akademik di Universitas Syiah Kuala, sebagai calon pendidik.
Banyak harapan yang ingin say bawa pulang ke kampung halamanku melalui ilmu yang saya dapatkan, meskipun itu hanya secuil jika dibandingkan dengan orang-orang sukses dibidangnya, walaupun hanya secuil dari ilmu yang mereka punya, tapi seberkas harapan dalam jiwa ini, ingin saya abdikan untuk keluarga dan untuk masyarakat.
Saya terlahir di sebuah desa di Kabupaten Pidie, Kecamatan Pidie, tepatnya di Gampong Cot Geulumpang, tumbuh dalam masyarakat yang mayoritasnya sebagai petani, dan hidup sederhana dengan pendapatan tergolong rendah, serta pendidikan terakhir hanya setara SMA, hanya beberapa anak yang mampu melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi, saya bersyukur dengan izin kedua orangtua serta kesungguhan mendapatkan beasiswa, sehingga saya berhasil melanjutkan pendidikan ke tahap universitas. Selebih itu, anak-anak yang lulus SMA menjadi pengangguran muda, mereka hanya sekedar membantu orangtuanya bertani, dan yang perempuannya kebanyakan menikah dengan melanjutkan generasi yang sama. Selebihnya ada yang merantau untuk mencoba memperbaiki ekonomi keluarganya, kebanyakan dari mereka yang keluar dari zona nyamannya akan terlihat lebih mandiri daripada yang lain. Pilihan merantau memang bukan pilihan asing di pidie ini. Pidie begitu lekat dengan jiwa rantau masyarakatya, bahkan pidie menjadi sebutan Cinanya Aceh dalam hal merantau. Dan sebagian generasi muda di Gampong Cot Geulumpang ini hanya menempuh pendidikan hingga lulusan SD, SMP, atau SMA sebelum melanjutkan pendidikann agamanya ke pondok pesantren atau Dayah.  Dayah di Samalanga atau Seulimum menjadi sasaran pendidikannya. Bagi mereka yang mampu bertahan lama dan bersungguh-sungguh di kota santri, akan menjadi kebanggaan tersendiri bagi keluarga dan masyarakatnya, karena yang paham agama dengan baik akan sangat dibutuhkan dalam menyelesaikan berbagai permasalahan hidup.
            Meskipun saya berada lama diperantaun, namun tak ada perubahan signifikan terjadi di Gampong kelahiran ini, bahkan perubahannya semakin bergerak ke arah negatif.  Keadaan yang sangat miris ketika saya melihat anak-anak kecil usia dini begitu mahir dengan lagu bergeknya, setiap bait lagu mereka lafalkan dengan fasih, bahkan ada yang sudah mulai merokok, mereka lalai dengan hal-hal yang semestinya tidak mereka kembangkan, dan cenderung mempraktikkan hal-hal baru yang mestinya tidak mereka dekati, semua hal itu banyak mereka dapatkan dari media televisi, tontonan yang tidak dipantau dengan baik oleh orangtuanya membuat mereka tumbuh dalam kondisi menyimpang. Potensi belajar mereka tidak diatur dengan baik. Ya, hal ini tidak bisa mutlak disalahkan orang tuanya yang kelelahan mencari nafkah dengan bertani dan lainnya, sehingga tak sempat mengajarkan hafalan Quran untuk anak-anaknya, mendampingi mereka dalam mempelajari lingkungannya, ataupun menyuruh mereka untuk membaca, kadang orangtuanya saja masih ada yang buta huruf, atau dalam permasalhan ekonomi, jangankan untuk beli buku, beli lauknya saja mesti diirit-irit. Meskipun di Aceh ini tak Sekejam kota Jakarta, tapi harusnya pemerintah kita sadar masih banyak lho anak-anak di Pidie ini yang pendidikannya masih kurang, budaya membacanya yang sangat minim apalagi menulis.
Mungkin memang ada beberapa anak yang mendapatkan bantuan dari pemerintah, baik itu dana BOS, uang pintar, atau apapun itu. Mestinya pemerintah ikut memantau kembali bagaimana efesiensi uang ini dalam pendidikan anak tersebut, apakah digunakan untuk beli buku, peralatan sekolah, atau untuk jajan dan membeli hal yang tidak dibutuhkan untuk pendidikannya.
Saya sangat berharap di kampung tercinta ini terwujud sebuah lingkungan yang beratmosfir pendidikan agama dan akademik yang baik. Anak-anak tidak lagi lalai dengan bergeknya, tapi mereka mampu mengembangkan kreatifitas kecil mereka  hingga menjadi karya, tapi kita butuh SDM yang menggerakkannya, bukan Cuma mempeloporinya, karena, anak-anak tidak mungkin tumbuh sendiri tanpa ada yang menggerakkan, tanpa ada yang membimbing. Aku sangat berharap pemerintah turun tangan dalam membantu desa tidak hanya untuk ibu-ibu PKK, tapi cobalah membangun kreatifitas anak, berikan mereka media, berikan mereka tempat untuk belajar, berikan mereka fasilitas. Dan untuk komunitas - komunitas yang peduli dengan pendidikan, ayo kita turun tangan untuk memperbaiki generasi ini agar tidak semakin rusak, tolong jangan hanya berfokus di kota, tapi cobalah utuk peka, karena di luar sana, masih banyak anak-anak yang menunggu kita untuk mewujudkan mimpi meraka. Mereka belum bisa menggali potensi diri mereka, apa salahnya jika kita bantu mereka mewujudkannya.
Salah satu program pemerintah yang bisa membangun anak-anak desa contohnya KKN, semestinya program ini sangat bermanfaat jika kelompok KKN memiliki kegiatan yang bersifat jangka panjang dalam pelaksanaan serta pemanfaatannya, seperti tarian, kreativitas mengolah bahan bekas, program hafal surat pendek, dan musabaqah. Dengan adanya KKN ini bisa sedikit membantu memperbaiki generasi muda penerus bangsa, alangkah lebih baiknya jika pemerintah memiliki program khusus layaknya desa binaan untuk membangun Sumber Daya Manusia yang ada di Gampong Cot Geulumpang ini.
Selain fokus untuk anak-anak, saya juga sangat berharap pemerintah menyediakan lapangan kerja untuk pemuda-pemuda pengangguran, karena seringkali mereka menghabiskan waktu mereka dengan main kartu, main batu bahkan melakukan berbagai penyimpangan sosial yang merugikan dirinya dan masyarakat sekitar.