Lamanya
diperantauan membuat saya semakin rindu akan kampung halaman. Memang jarak
Banda Aceh - Sigli bukanlah jarak yang begitu jauh, bisa ditempuh dalam waktu 2-3
jam tergantung kecepatan kendaraan yang kita tumpangi, hanya saja pendidikan
menghalangi saya untuk pulang. Banyak tanggung jawab yang harus saya emban diperantauan
sana, tak hanya menghabiskan kiriman dari orangtua. Pendidikan agama di sebuah
pondok pesantren Darul Aman, Lubok Sukon, dan pendidikan akademik di
Universitas Syiah Kuala, sebagai calon pendidik.
Banyak harapan yang
ingin say bawa pulang ke kampung halamanku melalui ilmu yang saya dapatkan,
meskipun itu hanya secuil jika dibandingkan dengan orang-orang sukses
dibidangnya, walaupun hanya secuil dari ilmu yang mereka punya, tapi seberkas
harapan dalam jiwa ini, ingin saya abdikan untuk keluarga dan untuk masyarakat.
Saya terlahir di
sebuah desa di Kabupaten Pidie, Kecamatan Pidie, tepatnya di Gampong Cot Geulumpang,
tumbuh dalam masyarakat yang mayoritasnya sebagai petani, dan hidup sederhana
dengan pendapatan tergolong rendah, serta pendidikan terakhir hanya setara SMA,
hanya beberapa anak yang mampu melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi, saya
bersyukur dengan izin kedua orangtua serta kesungguhan mendapatkan beasiswa,
sehingga saya berhasil melanjutkan pendidikan ke tahap universitas. Selebih
itu, anak-anak yang lulus SMA menjadi pengangguran muda, mereka hanya sekedar membantu
orangtuanya bertani, dan yang perempuannya kebanyakan menikah dengan melanjutkan
generasi yang sama. Selebihnya ada yang merantau untuk mencoba memperbaiki
ekonomi keluarganya, kebanyakan dari mereka yang keluar dari zona nyamannya
akan terlihat lebih mandiri daripada yang lain. Pilihan merantau memang bukan pilihan
asing di pidie ini. Pidie begitu lekat dengan jiwa rantau masyarakatya, bahkan
pidie menjadi sebutan Cinanya Aceh dalam hal merantau. Dan sebagian generasi
muda di Gampong Cot Geulumpang ini hanya menempuh pendidikan hingga lulusan SD,
SMP, atau SMA sebelum melanjutkan pendidikann agamanya ke pondok pesantren atau
Dayah. Dayah di Samalanga atau Seulimum
menjadi sasaran pendidikannya. Bagi mereka yang mampu bertahan lama dan
bersungguh-sungguh di kota santri, akan menjadi kebanggaan tersendiri bagi
keluarga dan masyarakatnya, karena yang paham agama dengan baik akan sangat
dibutuhkan dalam menyelesaikan berbagai permasalahan hidup.
Meskipun
saya berada lama diperantaun, namun tak ada perubahan signifikan terjadi di
Gampong kelahiran ini, bahkan perubahannya semakin bergerak ke arah
negatif. Keadaan yang sangat miris
ketika saya melihat anak-anak kecil usia dini begitu mahir dengan lagu
bergeknya, setiap bait lagu mereka lafalkan dengan fasih, bahkan ada yang sudah
mulai merokok, mereka lalai dengan hal-hal yang semestinya tidak mereka
kembangkan, dan cenderung mempraktikkan hal-hal baru yang mestinya tidak mereka
dekati, semua hal itu banyak mereka dapatkan dari media televisi, tontonan yang
tidak dipantau dengan baik oleh orangtuanya membuat mereka tumbuh dalam kondisi
menyimpang. Potensi belajar mereka tidak diatur dengan baik. Ya, hal ini tidak
bisa mutlak disalahkan orang tuanya yang kelelahan mencari nafkah dengan
bertani dan lainnya, sehingga tak sempat mengajarkan hafalan Quran untuk
anak-anaknya, mendampingi mereka dalam mempelajari lingkungannya, ataupun
menyuruh mereka untuk membaca, kadang orangtuanya saja masih ada yang buta
huruf, atau dalam permasalhan ekonomi, jangankan untuk beli buku, beli lauknya
saja mesti diirit-irit. Meskipun di Aceh ini tak Sekejam kota Jakarta, tapi
harusnya pemerintah kita sadar masih banyak lho anak-anak di Pidie ini yang
pendidikannya masih kurang, budaya membacanya yang sangat minim apalagi
menulis.
Mungkin memang ada
beberapa anak yang mendapatkan bantuan dari pemerintah, baik itu dana BOS, uang
pintar, atau apapun itu. Mestinya pemerintah ikut memantau kembali bagaimana
efesiensi uang ini dalam pendidikan anak tersebut, apakah digunakan untuk beli
buku, peralatan sekolah, atau untuk jajan dan membeli hal yang tidak dibutuhkan
untuk pendidikannya.
Saya sangat berharap
di kampung tercinta ini terwujud sebuah lingkungan yang beratmosfir pendidikan
agama dan akademik yang baik. Anak-anak tidak lagi lalai dengan bergeknya, tapi
mereka mampu mengembangkan kreatifitas kecil mereka hingga menjadi karya, tapi kita butuh SDM
yang menggerakkannya, bukan Cuma mempeloporinya, karena, anak-anak tidak
mungkin tumbuh sendiri tanpa ada yang menggerakkan, tanpa ada yang membimbing.
Aku sangat berharap pemerintah turun tangan dalam membantu desa tidak hanya
untuk ibu-ibu PKK, tapi cobalah membangun kreatifitas anak, berikan mereka
media, berikan mereka tempat untuk belajar, berikan mereka fasilitas. Dan untuk
komunitas - komunitas yang peduli dengan pendidikan, ayo kita turun tangan
untuk memperbaiki generasi ini agar tidak semakin rusak, tolong jangan hanya
berfokus di kota, tapi cobalah utuk peka, karena di luar sana, masih banyak
anak-anak yang menunggu kita untuk mewujudkan mimpi meraka. Mereka belum bisa menggali
potensi diri mereka, apa salahnya jika kita bantu mereka mewujudkannya.
Salah satu program
pemerintah yang bisa membangun anak-anak desa contohnya KKN, semestinya program
ini sangat bermanfaat jika kelompok KKN memiliki kegiatan yang bersifat jangka
panjang dalam pelaksanaan serta pemanfaatannya, seperti tarian, kreativitas
mengolah bahan bekas, program hafal surat pendek, dan musabaqah. Dengan adanya
KKN ini bisa sedikit membantu memperbaiki generasi muda penerus bangsa,
alangkah lebih baiknya jika pemerintah memiliki program khusus layaknya desa
binaan untuk membangun Sumber Daya Manusia yang ada di Gampong Cot Geulumpang
ini.
Selain fokus untuk
anak-anak, saya juga sangat berharap pemerintah menyediakan lapangan kerja
untuk pemuda-pemuda pengangguran, karena seringkali mereka menghabiskan waktu
mereka dengan main kartu, main batu bahkan melakukan berbagai penyimpangan
sosial yang merugikan dirinya dan masyarakat sekitar.